Sejarah
Gereja Katolik di Indonesia berawal dari kedatangan bangsa Portugis ke kepulauan Maluku. Orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano (kepala kampung) Mamuya (sekarang di Maluku
Utara) yang dibaptis bersama seluruh warga kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil dari Gonzalo
Veloso, seorang saudagar Portugis. Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan
bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga
datang untuk menyebarkan Injil. Salah satu pendatang di Indonesia itu adalah Santo Fransiskus Xaverius, yang pada tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi pulau Ambon, Saparua dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.
Sejak kedatangan dan
kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
di Indonesia tahun 1619 - 1799, akhirnya mengambil
alih kekuasaan politik di Indonesia, Gereja Katolik dilarang secara mutlak dan
hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk VOC yaitu Flores dan Timor.
Para penguasa VOC beragama Protestan,
maka mereka mengusir imam-imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan
menggantikan mereka dengan pendeta-pendeta Protestan dari Belanda.
Banyak umat Katolik yang kemudian diprotestankan saat itu, seperti yang terjadi
dengan komunitas-komunitas Katolik di Amboina.
Imam-imam Katolik diancam hukuman
mati, kalau ketahuan berkarya di wilayah kekuasaan VOC. Pada 1624, Pastor Egidius
d'Abreu SJ dibunuh di Kastel Batavia pada zaman pemerintahan Gubernur
Jenderal Jan Pieterszoon Coen, karena mengajar agama dan
merayakan Misa Kudus di penjara.
Pastor A. de Rhodes,
seorang Yesuit Perancis,
pencipta huruf abjad Vietnam, dijatuhi hukuman berupa menyaksikan pembakaran
salibnya dan alat-alat ibadat Katolik lainnya di bawah tiang gantungan, tempat
dua orang pencuri baru saja digantung, lalu Pastor A. de Rhodes diusir (1646).
Yoanes Kaspas Kratx,
seorang Austria,
terpaksa meninggalkan Batavia karena usahanya dipersulit oleh pejabat-pejabat
VOC, akibat bantuan yang ia berikan kepada beberapa imam Katolik yang singgah
di pelabuhan Batavia. Ia pindah ke Makau, masuk Serikat Jesus
dan meninggal sebagai seorang martir di Vietnam pada 1737.
Pada akhir abad ke-18 Eropa
Barat diliputi perang dahsyat antara Perancis dan Britania Raya bersama
sekutunya masing-masing. Simpati orang Belanda terbagi, ada yang memihak
Perancis dan sebagian lagi memihak Britania, sampai negeri Belanda kehilangan
kedaulatannya. Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte mengangkat
adiknya, Lodewijk atau Louis Napoleon,
seorang Katolik, menjadi raja Belanda. Pada tahun 1799 VOC bangkrut dan
dinyatakan bubar.
Perubahan politik di
Belanda, khususnya kenaikan tahta Raja Lodewijk, seorang Katolik, membawa
pengaruh yang cukup positif. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah.
Pada tanggal 8 Mei 1807 pimpinan Gereja Katolik di Roma mendapat persetujuan Raja Louis
Napoleon untuk mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia (lihat: Sejarah Gereja Katedral Jakarta)
Pada tanggal 4 April
1808, dua orang Imam dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor Jacobus
Nelissen, Pr dan Pastor Lambertus Prisen, Pr. Yang diangkat menjadi Prefek Apostolikpertama adalah Pastor J.
Nelissen, Pr.
Gubernur Jendral Daendels (1808-1811) berkuasa menggantikan VOC
dengan pemerintah Hindia Belanda.
Kebebasan beragama kemudian diberlakukan, walaupun agama Katolik saat itu agak
dipersukar. Imam saat itu hanya 5 orang untuk memelihara umat sebanyak 9.000
orang yang hidup berjauhan satu sama lainnya. Akan tetapi pada tahun 1889, kondisi ini membaik,
di mana ada 50 orang imam di Indonesia. Di daerah Yogyakarta,
misi Katolik dilarang sampai tahun 1891.
Nama “Van Lith”
yang melekat di sekolah SMA PL Van Lith, Muntilan, merupakan nama yang diambil
dari Franciscus
Georgius Josephus Van Lith seorang misionaris Belanda yang
ditugaskan di Indonesia. Penggunaan nama “Van Lith”
menunjukkan bahwa sekolah ini dinaungi, diilhami, dan disemangati oleh
cita-cita luhur Romo Van Lith.
Pada tahun 1900
didirikan ”Sekolah Calon Katekis /Calon Guru Agama”
Kemudian pada
tanggal 17 Maret 1904, didirikan RC Kweekschool (Sekolah Guru) dalam naungan kolese Xaverius dengan sistem asrama.
Tahun 1906
didirikan sekolah Guru untuk calon kepala sekolah.
Tahun 1907
didirikan Sekolah Guru dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya dilengkapi Hollands
Inslandse School (Sekolah Angka Satu (HIS)) sebagai sekolah untuk latihan siswanya.
Tahun 1913 Kweekschool diubah menjadi Normaal school ( sekolah guru Jawa dengan pengantar
bahasa Belanda waktu belajar 4 tahun)
Tahun 1935 sesuai
dengan kebijakan pemerintah Belanda maka kolese Xaverius diubah menjadi Sekolah
Guru 6 tahun
Dalam masa
pendudukan Jepang, kolese Xaverius digunakan untuk asrama polisi dan untuk
interniran (tempat tahanan sipil), sehingga kegiatan pendidikan berhenti total. Setelah
merdeka Kolese Xaverius dibukan kembali untuk kegiatan pendidikan kembali.
Tahun 1950 Normaalschool
dijadikan SGB (Sekolah Guru B 4 tahun). Pada bulan juli 1952 diserahkan
pengelolanya kepada Bruder-bruder FIC
Tahun 1955 SGB ditutup dan
dibuka SMP Pangudi Luhur berasrama ( SMP Xaverius)
Tahun 1959 SMP Xaverius diubah
menjadi SGA (Sekolah Guru Atas) Xaverius Tahun 1966 SGA
Xaverius diganti menjadi SPG Van Lith
Tahun 1991 SPG Van Lith
ditutup
Pada tanggal 31 Desember 1992 SPG Van Lith diganti SMA Van Lith berasrama bagi siswa putra-putri.
Ciri lembaga pendidikan van Lith :
•
Sekolah kader mencetak pemimpin
sebagi pelaku-pelaku perubahan sosial
•
Berasrama yang mengintegrasikan pendidikan formal,
informal, dan nonformal
•
Mengintegrasikan intelektualitas, humanitas, sosialitas, dan
religiositas
•
Nasionalis è Diawali dengan mendidik orang pribumi
Jawa agar pandai dan menyadari bahwa mereka sederajat dengan bangsa Belanda
yang menjajahnya
Berikut adalah alumni Kolose Xaverius:
·
-> Frans Seda
·
-> IJ.Kasimo
·
-> Sartono Kartodirdjo
·
-> Slamet Riyadi
·
-> Mgr. Soegiyo Pranoto
·
-> C. Simanjutak
Beberapa Foto Lembaga Van Lith
Komplek Kolose Xaverius :
Murid-murid Kolose Xaverius
KOMUNITAS FIC MUNTILAN
Tanggal 26
Desember 1921 Br. Bonifasius, Br.Eustatius, Br. Wiro tiba di Tanjung Priok yang
kemudian pada tanggal 30 Desember 1921, mereka membentuk komunitas di Muntilan,
dengan pemimpin komunitas Br. Bonifasius.
Mengapa mereka
memilih Muntilan? Karena ingin melanjutkan
karya misi Rm Van Lith.
Pada waktu itu
didirikanlah sekolah untuk calon guru, sebagai satu-satunya sekolah di Hindia
Belanda. Jumlah muridnya mencapai lebih dari 200 terus berkembang pernah menjadi ribuan.
Pada 17 Agustus
1922 datang dua bruder lagi menambah tenaga, yakni: Br. Gerontius dan Br.
Siardus. Sehingga jumlah bruder 14 orang.
Demi pendampingan
siswa, maka dibangunlah konvik-konvik (asrama-asrama)
Dari 1925 – 1929
didirikanlah 4 konvik untuk menampung lebih dari 200 murid.
Pada 1924, sudah
terdapat 2 calon bruder Jawa yang menjalani Novisnya di Belanda: Aloysius
Sugiardjo dan Jacobus Hendrowarsito.
Pada 1926: Br.
Timotheus Wignjasubrata dan pada 1930 menyusul Br. Petrus Claver Atmasujitna à Pendidikan
mereka di Belanda.
Pada 21 Nopember
1930, dilakukan peletakaan batu pertama untuk mendirikan Bruderan ke-2 di Tanah
Jawa.
Pembangunan
terhenti karena Merapi Melatus dengan sangat hebat.
Pembangunan baru
selesai dan diberkati pada 8 September 1931.
Mulainya
pendidikan calon berlangsung stelah Telah tersedia konvik-konvik yang kosong
untuk para calon Bruder. Tempatnya menjadi satu dengan bruderan.
Pada 1 Agustus
1936, dimulailah pendidikan calon bruder di Muntilan – Jawa hingga sekarang.
Peran kehadiran
para Bruder terus berkembang, sehingga memiliki gedung dan karya-karya
pendidikan hingga saat ini:
1.
Gereja St. Antonius
2.
Museum Misi dan Patoran
3.
Bruderan FIC
4.
SMK Pangudiluhur MTL
5.
PG TK SD PL IGNATIUS
6.
POSTULAT
7.
NOFISIAT
8.
PSTK
9.
PPLM
0 comments:
Post a Comment